Info Sekolah
Jumat, 20 Sep 2024
  • Pendaftaran peserta didik masih di buka. Silahkan bergabung menjadi keluarga SMP Muhammadiyah 4 Surakarta. Pinter Ngaji Terampil IT

Kehujahan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah

Diterbitkan : - Kategori : ARTIKEL

Oleh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2

Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad [1]. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia [2]. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul [3], yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam aqidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [Al Ahzab : 36]

Dan firman-Nya :

“Artinya : Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” [Ali Imran : 32]

Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad[4].”

Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini [5].”

Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?”

Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6]. Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang[7].” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang aqidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.

Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Semua yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr : 7]

Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits [8].

Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya[9].”

Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.

Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum. Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah[10].

Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran[11] bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah aqidah. Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” [An Najm : 28]

Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan[12].

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((Wa maa lahum bihi min ‘ilm)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an)) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Artinya : Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan[13].”

Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” [Al An’am : 116]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai[14]. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.

Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.

[Disalin dari buku Asyratus Sa’ah, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil, MA, Terbitan Pustaka Mantiq, Cetakan Kedua Nopember 1997. Hal. 38- 45]
_________
Foote Note
[1]. Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin mereka berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir. Ahad yaitu hadits selain Mutawatir. Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi, dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan.
[2]. Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180, editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani, halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202 M. Abduh editor M. Rasyid Ridha. Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata : “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib.
[3]. Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr. Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad.
[4]. Lihat Fathul Bari 13/234.
[5]. Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H.
[6]. Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Syafi’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz.
[7]. Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350.
[8]. Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4.
[9]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85.
[10]. Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362.
[11]. Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7.
[12]. Lihat An Nihayah 3/162-163.
[13]. Lihat Shahih Muslim 16/118.
[14]. Lihat Al Aqidah fii Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=1336&bagian=0

Beda antara kata “ahad” dan “wahid”

Abu Shalih Al-Lamfunji (TI 2002)

Dalam pembahasan ini, ana banyak mengambil faidah tentang pembahasan ini dari kitab yang sarat faidah karya Al Imam Al hafidz AsSuyuti, rahimahullah berjudul “ Al Itqon fi Ulumil Quran” ana tambahkan dari beberapa referensi bermanfaat lainnya.

Pertama yang perlu ditetapkan adalah keduanya merupakan 2 nama Allah ‘azza wajalla.

Allah berfirman dalam surat Al Ikhlas :

قل هو الله أحد

Katakanlah “Dialah Allah yang maha tunggal (ahad)”( Al Ikhlas , 1)

Dan Ia juga berfirman:

لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

Tidak ada yang tersembunyi di sisi Allah, milik siapakah kerajaan pada hari ini ? milik Al Wahid Al Qohhar (Ghofir : 16)

Lalu apa perbedaan antara ahad dan wahid ?

Bedanya :

1. Ahad bisa dijama’, sedangkan wahid tidak

Jamak ahad adalah ahaduuna أحدون, dan Aahadحد آ

Sedangkan wahid tidak ada jamaknya, tidak dikatakan : wahidun atau yang lainnya.

Pernah kita dengar : syubhat hadits âhad dari HT, tapi tidak pernah kita dengar syubhat hadits wâhidin, Cuma pernah denger aja nama mas wahidin :p

2. Ahad bisa dipakai untuk mufrad dan jama’, contohnya pada

Surat Al Haqqoh:

فما منكم من أحد عنه حاجزين

Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalanginya( Al Haqqah, 47)

3. Ahad mencakup untuk muannats (perempuan) dan mudzakkar (laki-laki)

Oleh sebab itu oleh berfirman:

لستن كأحد من النساء

Dan tidaklah kalian (para istri nabi) seperti wanita-wanita mukminah lainnya (Al Ahzab: 33)

Sementara untuk wahid, harus menggunakan wahidah-واحدة – bila yang dimaksud/disandarkan adalah muannats, misalnya sebagaimana sering kita dengar dalam bagian khutbatul hajah:

ياأيهاالناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة

Wahai manusia, bertaqwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu. (An Nisa’ : 1)

Nafs adalah jenis kata muannats.

Contoh lain, yang terdapat pada ayat favorit para ikhwan…katanya,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka wahidah (seorang) saja (An Nisa’ : 3)

dan masih banyak contoh lainnya

4. Ahad untuk yang ‘Aqil (berakal) sedangkan wahid bisa untuk yang berakal dan tidak berakal,

Sebagai contoh :

ليس في البيت أحد

Tidak ada seorangpun (ahad) dirumah

Maka ini khusus, yakni untuk orang

Sedangkan bila kita berkata:

ليس في البيت واحد

Tidak ada “wahid”pun di dalam rumah,

Maka maksudnya bisa untuk manusia, ternak, burung dll…

5. Dalam beberapa keadaan, makna ahad lebih sempurna dari pada wahid, contohnya:

فلان لا يقوم له أحد

Fulan, tidak ada yang berdiri untuknya seorangpun,

Maka maknanya adalah tidak ada yang berdiri satu, demikian pula dua, tiga dan seterusnya.

Tetapi bila redaksinya..

فلان لا يقوم له و احد

Artinya, fulan tidak ada yang berdiri untuknya satu,

Maka maknanya bisa ada yang berdiri untuk si fulan dua orang, tiga orang dan seterusnya…

6. Umumnya, ahad digunakan dalam kalimat yang redaksinya berbentuk nafyi (pengingkaran) atau larangan.

Bila kita melihat ayat-ayat dalam Al Quran, bentuk nafynya menggunakan ahad bukan wahid, contohnya:

وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى

Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni’mat kepadanya yang harus dibalasnya, Al Lail : 19

أَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ

Apakah dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya?

Al Balad (7)

أَيَحْسَبُ أَنْ لَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ

Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorangpun (ahad) yang berkuasa atasnya?

Al balad : 5

فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ (25) وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ (26)

Maka pada hari itu tiada seorang(ahad)pun yang menyiksa seperti siksa-Nya (25)

dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.(26)

Al fajr: 25-26

ولا بصل على أحد منهم مات أبدا

dan janganlah kamu sekali-kali mensholati salah seorang(ahad) yang mati di antara mereka..(At Taubah: 84)

silakan cari ayat-ayat yang lainnya, niscaya yang ketemu adalah ahad bukan wahid.

7. namun ada juga ahad dalam redaksi penetapan (itsbat), dan ini jarang:

contohnya:

قل هو الله أحد

Dalam surat Al Ikhlas,

Berkata fairuz Abadi bahwa ahad dalam surat al ikhlas di atas asalanya adalah wahadun, demikian juga Al imam As suyuti berpendapat seperti ini dalam Al Itqon.

Yakni hamzah pada أحد adalah gantian dari wawu, hal ini banyak terjadi pada kalimat-kalimat yang berawalan wawu, contohnya :

امرأة أناة ووناة

Imroatun Anatun dan wanatun (wanita yang lambat gerakannya)

وإشاح ووشاح،

Isyah dan wisyah (pedang)

bentuk itsbat yang lain..

فابعثوا أحدكم بورقكم هذه إلى المدينة

Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini (Al Kahfi: 19)

Itsbat lainnya

Dalam bilangan sebelas, dua puluh satu dan seterusnya

أحد عشر, أحد و عشرون

Ulama mengatakan bahwa ahad bila dalam siyaq itsbat, maka maknanya bisa berarti “ awal” (yang pertama), contohnya pada “yaumul ahad” yakni hari pertama, bukan hari satu. Dan sebagian dari mereka menafsirkan dengan ini, misalnya pada ayat dalam surat yusuf :

أما أحدكما فيسقي ربه خمرا

Adapun yang pertama dari kalian berdua, akan memberi minuman tuannya dengan khamar (Yusuf : 41)

8. Allah tidak menggunakan kata ahad sebagai sifat dalam Al Quran kecuali untuk diri-Nya yakni pada surat Al Ikhlas sementara wahid digunakan untuk mensifati makhluq-Nya

Allah ta’ala berfirman :

وَفِي الْأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ

Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama(satu)

Ar Ra’du : 4

Sehingga dari sini ulama ada yang berkata bahwa sifat ahad adalah sifat mutlak yang kembali kepadaNya dan tidak boleh pada makhluqNya, tidak boleh dikatakan huwa ahad atau Al malik Al ahad dan seterusnya.

9. Orang-orang lebih suka pake nama Abdul Wahid dari pada Abdul Ahad, setidaknya di negeri ini, pernahkah kita mendapati orang yang namanya Abdul Ahad, atau ahad saja ? Allahu a’lam

Demikian pembahasan ini, semoga dapat memberikan faidah, terutama menumbuhkan kecintaan untuk mempelajari Al Lughoh Al ‘Arobiyah sebagai bahasa yang Ia pilih untuk berbicara dengan makhluqNya dalam kitab-Nya yang mulia.

Wallahu ta’ala A’lam

Abu Shalih

Post Terkait

Kamis, 8 Jun 2017